Kamis, 04 Maret 2010

tugas kelompok 2 (tugas yg ke 3)

Metode Pembelajaran


1. Pembelajaran Konstruktivistik

Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng (1989) mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

Gambaran umum model pengajaran konstuktivistik menurut Pranata dalam Dina Gasong (2007) adalah model pembelajaran yang, antara lain, sebagai berikut :

  1. Menghargai keanekaragaman peserta didik. Implikasinya : pendidik harus menggunakan berbagai macam pendekatan sesuai karakteristik peserta didik, menyesuaikan kecepatan pengajarannya dengan tingkat penyerapan peserta didik yang berbeda-beda.
  2. Meletakkan keberhasilan proses pembelajaran lebih besar dipundak peserta didik daripada di tangan pendidik. Implikasinya : pendidik harus memberikan bertbagai metode belajar kepada peserta didik sehingga mereka mampu belajar secara mandiri, mempercayai bahwa peserta didik merupakan mahluk normal yang mampu menguasai materi yang harus diselesaikan dan pendidik sebagai fasilitator dan motivator, dll
  3. Memberi kesempatan peserta didik mengekspresikan pikiran dan penemuannya. Implikasinya: pendidik harus mengurangi alokasi waktunya di dalam kelas untuk berceramah dan. memberi waktu yang luas kepada peserta didik untuk saling berikteraksi dengan temannya maupun dengan pendidiknya.
  4. Membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan tugas-tugas dan mempresentasikan di kelas.Mendorong peserta didik mampu memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungannya. Implikasinya : pendidik harus mendesign materi pelajarannya sedemikian rupa sehingga peserta didik terdorong untuk mencari sumber-sumber pengetahuan dari berbagai tempat di luar fasilitas sekolah, misalnya : perpustakaan kota, internet, media masa, wawancara dengan orang-orang yang ahli di bidangnya, dll.

    Berdasarkan pada keunggulan dan kelemahan dari masing-masing model pembelajaran, muncul pertanyaan, mungkinkah model behavioristik harus dihapuskan dalam pelaksanaan pembelajaran dan mampukah pendidik menerapkan model pembelajaran konstruktifistik dilaksanakan khususnya di sekolah-sekolah kejuruan (SMK). Latar belakang input siswa SMK adalah siswa-siswa yang menginginkan selesai sekolah langsung bekerja.

    Asumsinya siswa lebih berkonsentrasi pada pelajaran-pelajaran yang sifatnya praktikum, walaupun tak boleh dipungkiri mata pelajaran produktifpun juga membutuhkan pengetahuan yang luas agar dapat menguasainya dengan sempurna. Alasan latar belakang ekonomi orang tua siswa sangat berperan dalam meluruskan tujuan utama siswa memilih SMK sebagai lahan pembelajaran. Kedua berdasarkan hasil pengamatan rata-rata nilai input siswa SMK adalah cukup rendah, asumsinya kemampuan intelektual siswa SMK juga tidak begitu memuaskan jika dicomparasikan dengan siswa SMU.

    Lebih utama lagi hampir tak ada kemamuan bagi siswa SMK untuk mengembangkan diri melalui fasilitas yang disediakan oleh sekolah, ringan saja misalnya perpustakaan, dari hasil pengamatan siswa yang masuk ke ruang perpustakaan atas kehendak pribadi dalam sehari dari sekian ratus siswa hanya beberapa gelintir orang saja. Jelas bahwa minat membaca siswa SMK sangat rendah.Hasil kuisioner pada 200 siswa menyatakan hanya 0,5 % siswa yang mempersiapkan diri pada malam hari untuk mempelajari atau hanya menyiapkan pelajaran yang akan diajarkan pada esok hari, 95,5% siswa mempersiapkan pelajaran pagi hari menjelang berangkat sekolah, asumsinya siswa SMK berangkat tanpa bekal pengetahuan apapun bahkan masih ada siswa yang lupa membawa buku/ modul untuk pelajaran hari ini .

Dalam kasus ini di SMK negeri II probolinggo tidak cocok di terapkan metode pembelajaran konstruksivistik, dimana masing-masing mereka belum memiliki keasadaran tentang betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat bahwa kebanyakan dari ereka dating ke sekolah tanpa ada bekal yang akan dipelajarinya. Sementara pada pola pebelajaran konstruktivisme sangat ditentukan oleh proses pembelajaran itu, dimana di tekankan pada siswa untuk dapat menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas yang kreatif. Pada pembelajaran ini siswa harus aktif. Sedangkan peran guru hanya menyediakan suasana yang nyaman sementara siswa harus mampu mendesain dan mengarahkan kegiatan belajar agar dapat benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan.

Menurut teori ini guru tidak hanya menberikan pengetahuan kepada siswa tetapi siswa harus aktif untuk mengembangkan materi yang diajarkan oleh guru. Sementara siswa-siswa di SMK negeri II tidak memilki kemampuan dan motivasi dalam mengembangkan metode belajar konstruktivistik ini. Dimana siswa lebih suka ketika mereka datang maka guru menerangkan kepada mereka materi sehingga semuanya hanya berpusat kepada guru. Gurulah yang memegang kendali di kelas. Pada kasus yang terjadi di SMK negeri II probolinggo kurang cocok digunakan metode pembelajaran knstruksivistik. dimana masing-masing mereka belum memiliki kesadaran tentang betapa pentinggnya ilmu pengetahuanSebenarnya metode pembelajaran konstruksivistik baik dimana yang paling ditekankan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar tetapi juga ada pengarahan dan pengawasan dari guru. Dimana dalam proses belajar yang paling penting adalah keterlibatan siswa. Dimana siswa secara aktif dapat merespon materi yang dibahas, merekalah yang mengatur dirinya sendiri. Dengan adanya keinginan dia belajar itu akan lebih baik lagi daripada harus dipaksa guru untuk belajar, karena sesuatu yang dipaksakan akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal.

Menurut teori pembelajaran konstruktivistik itu adalah baik dan tepat tetapi ini tidak dapat diterapkan pada semua siswa. Dimana masih banyaknya siswa yang belum siap dalam mengikuti pembelajaran konstruktivistik, sebaiknya bila ingin menggunakan program pembelajar yang baru harus dilihat bagaimana siswa dan situasi yang ada di daerah tersebut.



2. Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran

Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran Studi Kasus (diadob melalui penelitian studi kasus)

Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa di SD Islam Roushon Fikr Jombang, meliputi:

  1. Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa mengenal emosi diri
  2. Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa mengelola emosi diri
  3. Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa memotivasi diri sendiri
  4. Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa mengenal emosi orang lain, dan
  5. Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa menjalin hubungan dengan orang lain.


Sedangkan dalam perkembangan setelah mengumpulkan data, menganalisis, dan mengidentifikasi, muncul fokus kedua sebagai temuan penelitian tambahan, yaitu peristiwa spontan dalam pembelajaran yang langsung direspon oleh guru, dan peristiwa dalam pembelajaran yang berpeluang untuk mengembangkan kecerdasan emosional siswa, tetapi diabaikan atau tidak direspon langsung oleh guru.

Temuan penelitian menunjukkan, bahwa tindak pembelajaran yang dilakukan oleh subyek penelitian (guru al Islam, Bahasa Indonesia, Sains, dan IPS kelas I, II, dan III) SD Islam Roushon Fikr Jombang, memiliki kontribusi terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa, yang berupa:

  1. Kemampuan siswa mengenal emosi diri, tindakan guru meliputi: menanyakan kabar atau keadaan siswa pada saat pembelajaran, dan meminta siswa menceritakan perasaan pada waktu kecil secara kronologis;
  2. Kemampuan siswa mengelola emosi diri, tindakan guru meliputi: mengajak siswa berbaris dengan rapi dan masuk ke dalam kelas secara bergiliran, meminta siswa antri dan tidak berebutan dalam mengumpulkan tugas, dan guru meminta siswa mengerjakan soal dengan hati-hati, sabar, dan menjaga buku supaya tidak kotor;
  3. Kemampuan siswa memotivasi diri sendiri, yang meliputi tindakan guru menjelaskan manfaat atau kegunaan dari pelajaran yang diajarkan, dan memberi nasihat akan pentingnya belajar yang tumbuh dari kesadaran diri sendiri, secara bertahap dengan cara meminta siswa untuk keluar kelas, maupun meminta siswa maju ke depan untuk menunjukkan hasil kerjanya;
  4. Kemampuan siswa mengenal emosi orang lain, yakni guru menanyakan kemana siswa tidak masuk, meminta siswa menyimak dan menghargai teman yang sedang bercerita, dan guru bersikap ”diam” ketika melihat siswa yang membuat gaduh; dan
  5. Kemampuan siswa menjalin hubungan dengan orang lain, tindakan guru meliputi: mengajak siswa untuk belajar kelompok, meminta siswa mengumpulkan tugas secara berantai, dan guru meminta siswa melakukan simulasi atau bermain peran dalam pembelajaran.


Berkaitan dengan fokus kedua, terdapat peristiwa spontan dalam pembelajaran yang langsung direspon oleh guru, dan adanya peluang untuk mengembangkan kecerdasan emosional siswa, yang diabaikan oleh guru.

Berdasarkan kasus diatas, tindakan guru untuk meningkatkam kecerdasan emosional sudah cukup baik, dimana siswa sudah menunjukkan hasil dari didikan guru mengenai hal-hal untuk meningkatkan kecerdasan emoional siswa. Usaha guru dalam meningkatkan kecerdasan emosional sudah diterapkan oleh siswa, seperti:

  • Mengenali emosi diri
  • Mengelola emosi
  • Memotivasi diri
  • Mengenal emosi orang lain dan
  • Membina hubungan sosial


3. Multiple Intelegences

Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligence Oleh A Halim Fathani Yahya

Andre adalah salah satu siswa di kelas Bahasa di salah satu sekolah berstatus negeri di kota Malang. Ia memilih program bahasa karena ingin mengembangkan kemampuan bahasa Arabnya yang telah ia peroleh selama belajar di pondok pesantren di kampungnya ketika masih duduk di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama). Ia mengakui sangat enjoy ketika mengikuti proses pembelajaran di kelas bahasa tersebut. Hal ini disebabkan ia masuk di kelas bahasa tidak dipaksa oleh guru, orang tua, teman, dan siapapun, melainkan lebih disebabkan pada pertimbangan untuk mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh Andre sebelumnya, yaitu potensi dalam kecerdasan bahasa, terutama bahasa Arab.

Prestasi Andre di bidang bahasa Arab sangat mengagumkan. Ia sering menjadi juara lomba pidato bahasa Arab, menulis karangan berbahasa Arab, menulis kaligrafi, menjadi penerjemah, dan sebagainya. Tetapi, Andre tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya ketika tiba waktunya untuk mata pelajaran matematika. Selain ia tidak begitu menguasai bidang matematika, juga disebabkan pelbagai tekanan yang dilakukan seorang guru yang selalu memaksa untuk menghafalkan rumus dan berlatih mengerjakan soal setiap hari. Dengan kata lain, Andre merasa enjoy untuk belajar bahasa Arab, tetapi sangat kesulitan ketika disuruh (baca: dipaksa) untuk belajar matematika. Walhasil ketika hasil Ujian Nasional (UN) diumumkan, ternyata Andre dinyatakan sebagai siswa yang tidak lulus yang disebabkan nilai pelajaran matematikanya tidak memenuhi standar minimal yang ditetapkan.

Fenomena yang terjadi di atas tidak hanya dialami oleh Andre sendiri, tetapi tidak sedikit siswa-siswa sekolah menengah yang mengalami nasib serupa. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana selama ini pendidikan di Indonesia itu diselenggarakan? Apakah memang pendidikan Indonesia didesain secara saklek (baca: kaku) dan tidak memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai bidang minatnya? Atau –jangan-jangan– kesalahan diri siswa yang tidak mau untuk belajar serius?

Nah, dari beberapa persoalan tersebut, kiranya dapat dicarikan jalan keluarnya, di antaranya, yakni bagaimana seorang guru tersebut dapat melangsungkan proses pembelajaran secara manusiawi. Dengan kata lain proses pembelajaran yang dimaksud harus selalu menghargai potensi apa yang –sebenarnya- dimiliki oleh siswa tersebut. Guru hanyalah berusaha untuk memotivasi diri siswa agar dapat mengembangkannya.

Thomas Amstrong (2004) menegaskan, jika sekolah hanya menawarkan satu cara belajar kepada siswa, maka sekolah itulah yang tidak mampu belajar (meskipun siswa yang menanggung resikonya). Terlalu sering terjadi, pendidik lebih berkonsentrasi menciptakan hierarki akademis yang sempit ketimbang memenuhi kebutuhan siswa. Sehingga, menurutnya untuk mengatasi pelbagai hambatan belajar yang dialami siswa tersebut dapat memanfaatkan pembelajaran dengan pendekatan Multiple Intelligence.

Mengapa harus menggunakan pendekatan Multiple Intelligence sebagai solusi pemecahannya? Ada beberapa alasan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hoerr (2000), di antaranya adalah: bahwa pendekatan Multiple Intelligence menempatkan siswa, alih-alih kurikulum sebagai fokus. Menggunakan metode taktil untuk membantu siswa belajar dan mengizinkan siswa menunjukkan pemahaman dengan menggunakan kecerdasan spasial, artistik, atau kinestetis tubuh, merupakan strategi yang sangat membantu guru dalam mengajar siswa. Sebagai contoh, selain dengan cara tradisional mendengar dan menyebutkan bunyi, siswa dapat belajar mengeja kata dengan kartu huruf, dengan menyanyikan bunyi yang mewakili huruf yang dieja, atau dengan menggambar huruf di pasir. Sayangnya, kelas yang mengajak siswa merancang dan membangun roket, membedah katak, membentuk tanah liat untuk menggambarkan emosi, atau membuat koreografi tarian, sering sangat terbatas hanya bagi siswa yang berbakat, yaitu yang memperoleh nilai di atas rata-rata pada tes kecerdasan standar. Padahal siswa yang “terhambat”, yaitu yang tidak begitu kuat dalam kecerdasan akademis, adalah yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari metode pengajaran seperti itu.

Lebih lanjut Hoerr (2000) menjelaskan bahwa keselarasan antara menggunakan pendekatan Multiple Intelligence dan memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar dengan cara berbeda merupakan hal yang baik. Guru yang menggunakan Multiple Intelligence tentu memahami bagaimana siswa mereka belajar, dan karenanya, menyesuaikan kurikulum dan pengajaran. Semua siswa akan mendapatkan manfaat dari pendekatan ini, tetapi barangkali yang paling diuntungkan adalah siswa yang menemui kesulitan ketika mencoba belajar hanya dengan menggunakan kecerdasan berbahasa dan logika matematika. Secara tradisional, motivasi dan kesukaan siswa-siswa ini untuk belajar menjadi korban dalam lingkungan yang tidak menghargai kecerdasan non-akademis mereka.

Sebenarnya, menyelenggarakan proses pembelajaran dengan pendekatan Multiple Intelligence bukanlah “jaminan mutlak” untuk dapat mengatasi kesembuhan “penyakit” bagi siswa yang mengalami kendala dan hambatan dalam belajarnya. Hanya menggunakan Multiple Intelligence tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam kesulitan belajar yang dialami siswa Sally Grimes dari Cape Code Education Center –sebagaimana yang dikutip Hoerr- menyatakan bahwa “pendekatan Multiple Intelligence sering disambut antusias oleh siswa yang mengalami hambatan belajar, karena dapat menjawab beberapa masalah kritis mengenai pembelajaran dan membuka pintu belajar bagi mereka. Tetapi, keberhasilan hanya menggores permukaan dalam kasus “hambatan belajar” sebenarnya karena guru tidak punya pemahaman mendalam tentang mengapa metode itu efektif untuk siswa, bagaimana cara terbaik memaksimalkan metode seperti itu, dan intensitas serta durasi aspek tertentu yang diperlukan dalam beberapa kasus.

Keprihatinan lain dalam hal ini adalah ketika Multiple Intelligence berhasil digunakan untuk membantu siswa dengan hambatan belajar, tetapi Multiple Intelligence dilihat hanya akan sebagai alat untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Meskipun menggunakan Multiple Intelligence bukan berarti kehilangan semangat atau usaha untuk mencapai standar akademis tinggi, mereka yang tidak memahami Multiple Intelligence mungkin tidak menerima gagasan bahwa Multiple Intelligence dapat memberi siswa alat yang berbeda untuk belajar.

Kreativitas yang terdapat dalam pendekatan Multiple Intelligence dan meningkatnya peluang siswa untuk berhasil mungkin akan mnyebabkan sebagian orang melihat bahwa Multiple Intelligence hanya menguntungkan bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar. Oleh sebab itu salah satu alternatif untuk memecahkan problem kesulitan belajar yang sering dihadapi siswa maupun guru ketika melaksanakan proses pembelajaran, di antaranya adalah pembelajaran harus diselenggarakan dengan menghargai potensi kecerdasan yang dimiliki setiap individu siswa. Masing-masing siswa tentu memiliki potensi kecerdasan yang tidak sama, sehingga rasanya seorang guru akan tidak ‘adil’ jika tetap saja memaksa kepada semua siswa untuk mahir di bidang tertentu ansich, misalnya siswa harus menguasai matematika, tetapi jarang ditemukan guru yang menginginkan anak didiknya menguasai pada bidang musik, tata boga, atau lainnya.

Dengan demikian, pembelajaran berbasis Multiple Intelligence secara umum dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang memberi “ruang gerak” bagi setiap individu siswa untuk mengembangkan potensi kecerdasannya. Siswa dituntut agar dapat belajar secara enjoy, tidak merasa terpaksa, dan memiliki motivasi yang tinggi. Pada hakikatnya, pembelajaran berbasis Multiple Intelligence dapat juga dimaknai sebagai pembelajaran yang membiarkan anak didik untuk selalu kreatif. Tentunya, kreativitas yang dibangun adalah bentuk ke-kreatif-an yang dapat mendukung terhadap keberlangsungan proses pembelajaran dengan menghasilkan target prestasi akademik yang membanggakan.

Pembahasan:

Menurut kelompok kami pembelajaran multiple intelegensi memang sangat efektif , namun penggunaan nya masih jarang, karena masih banyak guru yang menggunakan sistem pembelajaran yg berstandar akademis ketimbang memperhatikan minat dan bakat pada anak. Jika saja banyak sekolah yang lebih memperhatikan kecerdasaan-kecerdasaan majemuk pada siswa ketimbang harus mengikuti standarisasi pendidikan ,mungkin pembelajaran lebih efektif dan lebih menarik bagi siswa karena siswa dapat di beri kesempatan untuk mengembangkan kecerdassaan majemuknya, sehingga masing-masing anak memiliki kecerdasaan yang menonjol pada bidang-bidang tertentu.

Menurut Gardner (dalam Riyanto, paradigma baru dalam pembelajaran), kecerdasan dibagi atas delapan kecerdasan dasar:

1. Kecerdasan Linguistik

2. keerdasan matematis

3. kecerdasan spasial

4. kecerdasan kinetis

5. kecerdasan musical

6. kecerdasan interpersonal

7. kecerdasan intrapersonal

8. kecerdasan naturalis

9. kecerdasan ekseistensial yang baru ditambahkan.

Ada 3 faktor penting dalam mengembangkan Kecerdasan majemuk, yaitu:

1. faktor biologis

2. sejarah hidup pribadi => dari kasus di atas jelas terlihat yang membuat Andre untuk memilih kelas bahasa karena ia dahulunya pernah bersekolah di Pesantren yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahsa sehari-harinya dan ia pun memilih kelas bahasa dengan alasan ingin memngembangkan kemampuan berbahasanya.

3. latar belakang cultural dan

4. histories

3 faktor penting ini memang sangat lah efesien dalam pengembangan pembelajaran majemuk. Menurut kelompok kecerdasan majemuk ada pada setiap manusia, namun pengembangannya mungkin belum terlaksana, karena proses pembelajaran yang digunakan saat ini masih kaku. Sejumlah pengaruh lingkungan juga bisa berperan mendorong atau menghambat perkembangan kecerdasaan. contohnya Andre tadi, yang dari SMA telah terbiasa menggunakan bahasa Arab di lingkungannya sehari-hari sehingga ia lebih enjoy dalam mendalami kecerdasan bahasanya, daripada kecerdasan lainnya.

Faktor keluarga juga mempengaruhi perkembangan dan penghambat kecerdasaan yang dimilki siswa. contohnya: bila ada orang tua yg memaksa kehendaknya untuk masuk kelas IPA yang tidak sesuai dengan kemampuan anak, mungkin itu akan menghamabat proses belajarnya . Menurut kami, metode multiple intelegence adalah salah satu cara untuk menanggulangi hal-hal tersebut, agar anak lebih enjoy dan efesien dalam perkembangn belajarnya. jadi dapat disimpulkan, multiple intelegense adalah suatu metode belajar yang tidak memaksa anak untuk menguassai semua bidang sesuai standart akademik yang sering digunakan pada setiap sekolah, namun siswa dibiarkan memilih untuk kreatif dalm belajar dengan mengembangkan kecerdasan yang ia miliki.


4. Contextual Teaching and Learning

Studi Kasus Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

Dra Yati Utami MPd, guru Biologi SMAN 1 Jetis Bantul yang ditunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk mewakili Indonesia dalam National Children’s Science Congress (NCSC) di Pune, Maharastha India 27-31 Desember mengatakan, ”Ah, gara-gara pohon mangga saya ke India”.

Yati Utami didampingi Drs Wiyono (Kepala SMAN 1 Jetis), Drs Walfarianto MSi (Humas), Sabtu (22/12) berkisah, selama ini pohon mangga di halaman SMAN 1 Jetis Bantul tidak pernah berbuah, padahal sudah besar dan rimbun daunnya. Anehnya, usai gempa bumi 27 Mei 2006 lalu, pohon mangga berbuah. Kejadian alam ini menjadi tanda tanya besar bagi siswa dan guru-guru di sekolah tersebut.

Usai gempa, siswa dan guru sering berteduh di bawah pohon mangga kemudian mendirikan tenda untuk proses belajar mengajar. Tapi soal pohon mangga membuat penasaran Dra Yati Utami MPd, guru Biologi SMAN 1 Jetis. ”Rasa penasaran itu saya bawa menjadi bahan belajar biologi di kelas saat menjelaskan tentang fotosintesis,” ucapnya. Siswa-siswi juga sibuk menganalis, kenapa hal tersebut terjadi dan terus mencari penjelasannya.

Akhirnya Yati menjelaskan, pohon mangga di halaman sekolah tidak pernah berbuah karena proses fotosintesis tidak berjalan sempurna. Rupanya saat gempa tembok sekolah kiri-kanan roboh, cahaya menjadi leluasa menyinari pohon mangga tersebut.

Pohon mangga hanya salah satu studi kasus. Intinya, guru sekarang ini perlu melakukan inovasi pembelajaran secara kontekstual agar siswa menjadi senang saat belajar ilmu apapun, termasuk biologi. ”Kasus-kasus di sekeliling kita bisa menjadi materi pembelajaran siswa dengan menarik,” katanya Yati yang menyebut pengalaman mengajar dengan inovasi ini tidak hanya menjadi bahan pembelajaran, tetapi dituangkan secara tulisan ilmiah dalam lomba karya tulis yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). ”Saya tidak menduga, pengalaman mengajar secara inovatif menarik perhatian LIPI. Dalam tulisan itu memang saya hubungkan dengan global warming atau pemanasan global,” ucapnya.

Kabar gembira diminta presentasi di India juga disampaikan Yati Utami ke Bupati Idham Samawi, didampingi Drs Sigito MSi (Kepala Dinas Pendidikan DIY), Drs Masharun Ghazali MM (Kasubdin Dikmenum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bantul). ”Pak Idham senang dan bangga, ada guru Bantul mewakili Indonesia presentasi di India,” ucapnya sambil menyebut dirinya berangkat ke India bersama 3 siswa pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) dan staf LIPI.

Analisa Kasus

Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Dalam konteks ini, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran lebih produkif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.

CTL menjadi pilihan sebagai strategi belajar karena strategi ini merupakan strategi belajar "baru" yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafalkan fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui "mengalami", bukan "menghafal".

Tujuh komponen dari pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning(CTL)) adalah sebagai berikut;

1. > Kontruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi miliki mereka sendiri. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.

2. > Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan kegiatan inti dari kegiatan pembelajaran CTL. Pengetahuan dari keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan apa pun materi yang diajarkannya.

3. > Bertanya (Questioning)

Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.

4. > Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi nformasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

5. > Pemodelan (Modeling)

Dalam sebuah pembelajaran keterampilan dan pengalaman tertentu, ada model yang bisa ditiru. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.

6. > Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah diakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Kunci dari refleksi ini adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang pernah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.

7. > Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbaga data yang bisa memberkan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Assessment dilakukan tidak pada akhir periode pembelajaran tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran.

Dalam kasus tersebut, guru (Yati Utami) memberikan pengajaran melalui strategi kontekstual (CTL). Yaitu dengan memberikan kebebasan pada para murid untuk menganalisis mengenai pohon mangga yang bisa berbuah paska gempa, dimana guru dan murid-murid belajar di alam terbuka yaitu di bawah pohon mangga tersebut. Kemudian guru menjelaskan mengenai proses fotosintesis yang terjadi pada pohon mangga tersebut sehingga pohon mangga yang sebelumnya tidak bisa berbuah menjadi bisa berbuah.

Melalui studi kasus diatas, maka terdapat hal yang berhubungan dengan beberapa komponen dari CTL. Yaitu sebagai berikut;

1. > Kontruktivisme (Constructivism)

Dalam kasus ditemukan bahwa, siswa dilibatkan untuk membuat analisis sendiri mengenai perubahan yang terjadi pada pohon mangga dari yang mulanya pohon tersebut tidak berbuah walaupun memiliki daun yang rindang serta usia pohon yang telah cukup sampai kepada pohon mangga yang akhirnya bisa berbuah setelah kejadian gempa.

2. > Menemukan (Inquiry)

Guru membuat kegiatan mengenai perubahan yang terjadi pada pohon mangga paska gempa. Awalnya murid ditugaskan untuk mengobservasi kejadian dan menganalisanya.

3. > Bertanya (Questioning)

Kegiatan dalam menganalisa pohon mangga bermula dari rasa penasaran dan bertanya-tanya dalam benak seorang guru. Dari munculnya pertanyaan, “mengapa pohon mangga bisa berbuah setelah terjadinya gempa?” maka terjadilah proses yang akan menghasilkan suatu jawaban dari pertanyaan tersebut. Sehingga dari pertanyaan inilah guru membuat suatu kegiatan yang melibatkan murid-muridnya secara bersama-sama untuk menemukan jawaban.

4. > Masyarakat Belajar (Learning Community)

Dalam kasus ditemukan bahwa guru membuat suatu kelompok belajar pada kelas 1 SMU untuk menganalisa suatu perubahan yang terjadi pada pohon mangga. Setelah semua siswa memiliki jawaban masing-masing mengenai peristiwa tersebut, maka diakhir belajar sebagai evaluasi, guru melakukan sharing kepada semua siswa yang terlibat mengenai proses yang terjadi. Ternyata proses yang terjadi pada pohon mangga tersebut adalah bahwa pohon mangga mengalami proses fotosintesis yang sempurna setelah gempa terjadi yang meruntuhkan bangunan yang menghalangi fotosintesis. Sebelumnya pohon mangga tidak bisa berbuah karena ada beberapa bangunan yang menghalangi proses teradinya fotosintesis, sehingga pohon mangga tidak bisa berbuah walaupun usianya sudah cukup untuk berbuah.

5. > Refleksi (Reflection)

Berdasarkan studi kasus bahwa siswa secara tidak langsung melibatkan pengetahuan biologi mengenai fotointesis yang telah didapat sebelumnya, lalu kemudian siswa menghubungkannya dengan menganalisa proses fotosintesis yang terjad pada pohon mangga tersebut. Hasil yang diperoleh merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.

5. Quantum Learning & Quantum Teaching

Studi kasus Quantum Learning & Teaching

Aku Hampir Gila (18) :

Aku Jadi Siswa Paling Bodoh

oleh: Tarjum

Siklus manic depressive terus berulang-ulang dengan intesitas tekanan yang semakin kuat, seperti lingkaran setan yang tak berujung. Kondisi kejiwaanku yang terus memburuk, sangat mempengaruhi aktivitas sehari-hariku di rumah maupun di sekolah. Semester kedua di SMA prestasi belajarku mulai menurun, aku hanya meraih rangking 4 dari 46 siswa.

Kondisi kejiwaanku makin memburuk, suasana hatiku semakin tak terkendali. Kepercayaan diriku yang rendah serta ketidak mampuanku bergaul menambah beban berat pikiranku. Kondisi fisikku pun mulai terganggu. Aku mulai sering sakit-sakitan, sakit yang tak jelas sakit apa. Sakit fisik yang disebabkan oleh kondisi psikisku yang tak menentu.

Siswa Bodoh yang Pemalas dan Suka Nyontek

Memasuki kelas dua SMA, prestasi akademisku makin terpuruk, bahkan hancur-hancuran. Sekarang aku bukan lagi anak pandai yang selalu juara kelas, tapi aku sudah berubah drastis menjadi anak bodoh dan pemalas yang sering mendapatkan nilai 3 dan 4 saat tes. Saat belajar di ruang kelas, aku sama sekali tidak bisa konsentrasi. Aku malah sering tidur saat guru sedang mengajar. Aku tak bisa mencerna materi-materi pelajaran yang disampaikan para guru di ruang kelas.

Sejak itu aku mulai sering nyontek saat tes. Aku juga jarang mengerjakan pekerjaan rumah (PR) karena di rumah pun aku juga tak bisa konsentrasi belajar. Ujung-ujungnya ya, nyontek lagi kebiasaan buruk yang sangat aku benci saat aku di SMP dulu—walaupun sebenarnya aku sangat malu melakukannya.

Aku suka sedih jika ingat prestasiku di SMP dulu. Aku selalu bahagia saat kenaikan kelas, karena aku selalu menjadi yang terbaik. Kini masa bahagia itu sudah berlalu. Aku sudah berubah manjadi siswa yang bodoh, pemalas, suka nyontek, suka tidur saat belajar, dan sering datang terlambat ke sekolah, bahkan pernah beberapa kali bolos sekolah.

Aku memang sudah banyak berubah. Semester 3 rangkingku anjlok ke urutan 34 dari 39 siswa. Prestasi terburuk yang bahkan tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Itu berarti aku menjadi siswa paling bodoh ke-6 di kelas. Dengan nilai raport dan rangking sejelek itu aku sampai khawatir jangan-jangan aku tidak naik kelas.

Jika episode depresi datang, berada di ruang kelas benar-benar merupakan siksaan bagiku, aku tak mampu menyerap dan mencerna materi-materi pelajaran yang disampaikan para guru. Apalagi jika diberi tugas mengerjakan soal, aku sama sekali tidak bisa berpikir. Otakku seperti beku, lidahku seperti kelu, dan tubuhku seperti kaku.

Karena dengan suasana hati yang tak menentu serta kekacauan emosi yang tak terkendali, aku sering bingung harus ngomong apa jika berhadapan dengan teman atau siapa saja. Aku tak bisa menata pikiranku sendiri, aku tak mampu menyusun kata-kata dan merangkai kalimat yang tepat untuk diucapkan. Kalaupun dipaksakan yang terucap hanya kalimat-kalimat pendek yang kadang tidak relevan dengan tema obrolan.

Keadaan ini membuatku semakin ragu, malu dan kurang berani bicara di depan teman-temanku. Bahkan pada situasi tertentu aku sering gagap bicara. Saat berhadapan dengan seseorang terutama teman, aku khawatir mereka akan memandang aneh dengan sikapku, kata-kata, nada biacara, raut muka serta gerak-gerikku.

Analisa Kasus

Pada kasus diatas, metode yang bisa digunakan untuk untuk prose pembelajaran adalah metode Quantum Learning memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi dengan kegembiraan”. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak memiliki persamaan : hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

prinsip dari Quantum Learning adalah sugesti yang dapat dan pasti mempengaruhi hasil dari situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif.

Pada kasus diatas, ada beberapa masalah yang dihadapi, antara lain:

  1. Adanya suatu pernyataan bahwa terdapat manusia yang bodoh
  2. Kondisi kejiwaan seseorang sangat mempengaruhi aktivitas belajar
  3. Siswa kurang memiliki sifat kepercayaan diri dan motivasi
  4. Siswa memiliki daya nalar dan kecerdasan yang berbeda-beda Setiap siswa memiliki gaya belajar yang unik
  5. Terdapat siswa yang kesulitan menyerap dan memahami pelajaran-pelajaran yang disampaikan gurunya.
  6. Siswa sulit berkonsentrasi saat belajar di dalam kelas

Sebenarnya, Tarjum adalah seorang siswa yang pintar. Tetapi akibat dari manic depresive yang ia derita dan terus berulang membuat prestasi belajarnya turun. Menjadi siswa yang pemalasdan suka menyontek di kelas, kurangnya konsentrasi saat belajar dan rendahnya kepercayaandirinya membuat ia makin terpuruk dan sedih akan kondisinya tersebut.

Seharusnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh Tarjum dapat diatasi dengan metode Quantum Learning. Karena metode tersebut dapat memberikan sugesti yang positif pada siswa sehingga dapat membangkitkan kembali kepercayaan diri dan juga memunculkan keyakinandimiliki oleh siswa bahwa ia dapat belajar dan berprestasi seperti dulu lagi, dankemungkinan manic depresive yang dimiliki bisa berkurang sedikit demi sedikit walaupun mungkin membutuhkan waktu yang lama. Setidaknya, cara pandang dan cara pikir ia terhadap dirinya sendiri bisa berubah menjadi positif.

Siswa juga harus menemukan cara belajar yang tepat sesuai dengan masalah yang dihadapinya sekarang, sehingga apabila ia menerapkan metode ini bisa meningkatkan prestasi belajarnyadengan cepat.

Menurut kelompok kami, Tarjum adalah Pemikiran Acak Abstrak (AA), dimana dunia nyatauntuk pelajar acak abstrak adalah perasaan dan emosi, karena perasaan dapat lebihmeningkatkan atau memperngaruhi belajar. Pemikir AA mengalami peristiwa secara holistik; mereka perlu melihat keseluruhan gambar sekaligus. Dengann alasan inilah mereka akanterbantu jika mengetahui bagaimana segala sesuatu terhubung dengan keseluruhannya sebelum ke dalam detail.

Walaupun dulunya Tarjim merupakan siswa yang pintar, metode ini perlu digunakan agar emosi positif ia tentang belajar bisa bangkit kembali.

Beberapa kiat yang dapat dilakukan oleh pemikir AA, yaitu:

a. Gunakan kemampuan alamiah anda untuk bekerja sama dengan orang lain.

b. Ketahuilahbetapa kuat emosi mempengaruhi konsentrasi pada saat belajar.

c. Bangunlah kekuatan belajar anda dengan cara asosiasi.

d. Lihatlah gambar besar.

e. Waspadalah terhadap waktu.

f. Gunakan isyarat-isyarat visual.

Guru hendaknya membantu masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa dengan caramemberikan perhatian yang berlebih dalam hal proses belajarnya. Selain itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan baik dari pihak sekolah, guru maupun oleh siswa itu sendiri, antara lain:

  1. Guru harus meyakinkan kepada setiap siswa nya bahwa “Tidak satupun siswa saya yang tidak pintar“.
  2. Setiap siswa harus dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya. Guru harus dapat mengenali secara dini kecerdasan masing-masing peserta didik, dan kemudian memberikan layanan yang sesuai dengan tipe kecerdasan yang mereka miliki.
  3. Mengikuti pelatihan mengenai penggunaan media belajar yang efektif.
  4. Berusaha melengkapi fasilitas yang ada di setiap sekolah.Guru harus lebih banyak memberikan umpan balik yang positif bagi siswa.
  5. Menciptakan sekondusif mungkin ruang belajar yang memberikan kenyamanan dan rasa santai.


Selain menggunakan metode Quantum Learning, kasus tersebut juga dapat dibahas dengan menggunakan metode Quantum Teaching. Apabila siswa sudah mau mengubah cara pandangnya mengenai pembelajar dan menggunakan metode Quantum Learning, alangkah baiknya jika guru menggunakan metode Quantum Teaching untuk lebih menyempurnakan proses belajar-mengajar di sekolah.

Akan tetapi, apabila siswa tidak menggunakan metode Quantum Learning untuk mengubah pola pikirnya tentang belajar, guru dapat menggunakan metode Quantum Teaching untuk membuat proses belajar lebih menarik. Walaupun berdasarkan kasus, yang seharusnya merubah metode adalah dari siswa itu sendiri, tetapi tidak ada salahnya kasus tersebut juga dibahas dengan metode Quantum Teaching.

"Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka". ini merupakan konsep dari quantum teaching, dan merupakan asas utama. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya memasuki dunia murid sebagai langkah pertama untuk mendapatkan hak mengajar, hal yang pertama adalah guru membangun sebuah jembatan autentik dalam memasuki kehidupan murid. Jadi, masuki terlebih dahulu dunia mereka. Hal ini merupakan tanda bahwa guru memiliki izin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang luas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan apa yang guru ajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, atletik, musik, seni, rekreasi, atau akademis mereka. Setelah kaitan itu ada dan terbentuk, anda dapat membawa mereka kedalam dunia pendidik, dan memberi mereka pemahaman guru mengenai isi dunia itu. Prinsip-prinsip atau kebenaran tetap yang ada mempengaruhi seluruh aspek dalam quantum teaching.

Prinsip-prinsip ini sebagai struktur chord dasar dari simfoni belajar si pendidik. prisip-prinsip tersebut adalah :

1. Segalanya berbicara

Semua yang anda lakukan merupakan pengiriman pesan tentang belajar, segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh anda, dari kertas yang anda bagikan hingga rancangan pelajaran anda.

Berdasarkan kasus, apapun yang guru berikan dalam mendidik Tarjum di sekolah, baik dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh, dari kertas yang dibagikan hingga rancangan pelajaran, hendaklah terdapat pesan tentang belajar. Sehingga ia bisa mengerti hakikat tentang belajar yang diterapkan guru disekolah.

2. Segalanya bertujuan

Semua yang terjadi dalam pengubahan guru mempunyai tujuan. Sehingga siswa dapat menganalisa masalah dan mengerti setiap pembelajaran bahwa itu mempunyai tujuan-tujuan pembelajaran.

3. Pengalaman sebelum pemberian nama

Proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari, karena otak kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks, yang akan menggerakan rasa ingin tahu.

Berdasarkan kasus Tarjum, hendaknya Tarjum mempunyai sedikit banyaknya informasi tentang apa yang akan ia pelajari, sehingga ia bisa mengembangkan daya imajinasinya dan kembali berpikir kreatif dalam memperluas informasi yang ia peroleh sebelumnya.

4. Akui setiap usaha

Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan, pada saat siswa mengambil langkah ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka.

Tarjum sudah tidak memiliki kepercayaan diri lagi. Disinilah peran guru dalam membimbing Tarjum dalam mengembalikan kepercayaan dirinya, dan apabila ia telah berhasil menunbuhkan kepercayaan dirinya, guru patut memuji dan mendapat pengakuan bahwa ia bisa melakukan yang seharus nya ia lakukan dari dulu.

5. Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan!

Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar, ini merupakan sarana pelajar juara. Bisa dengan pemberian reward kepadaTarjum atas setiap usaha dan kemajuan yang dilakukannya.

Quantum teaching memodelkan filosofi pengajaran dan strateginya dengan "Maestro". Sekilas dapat dipaparkan mengenai metode TANDUR dalam menerapkan quantum teaching dan maknanya yang dapat dibahas berdasarkan kasus.

1. Tumbuhkan

Tumbuhkan minat dengan memuaskan "Apakah manfaatnya bagiku" (AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar.

2. Alami

Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar.

3. Namai

Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, sebuah "Masukan".

4. Demonstrasikan

Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk "Menunjukan bahwa mereka tahu".

5. Ulangi

Tunjukan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan, "Aku tahu bahwa aku memang tahu ini".

6. Rayakan

Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.

Metode TANDUR tersebut dapat digunakan oleh Tarjum dengan bimbingan guru, sehingga setiap proses belajar yang digunakan Tarjum bisa diamati dan dibantu guru sehingga ia dapat mengembalikan semangatnya dalam belajar, tidak putus asa lagi, kepercayaan dirinya meningkat, dan ia dapat mulai berprestasi lagi karena konsentrasi yang semula hilang kini kembali lagi karena bantuan dari metode Quantum Teaching dan Quantum Learning.

Diharapkan, pemecahan masalah yang berkaitan dengan metode Quatum Learning yang telah dibahas di atas dapat bermanfaat oleh setiap orang..

KESIMPULAN

Pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk belajar. kegiatan pembelajaran akan melibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien (Muhaimin, 1996). sedangkan strategi adalah suatu rencana tentang pendayagunaan dan penggunakan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengajaran (Slameto, 1991).

Jadi, strategi pembelajaran adalah semua komponen materi/paket pengajaran dan prosedur yang digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pengajaran.

Kelompok kami telah membahas beberapa studi kasus yang menggunakan beberapa strategi pembelajaran yang digunakan sebagai acuan pendidikan di sekolah-sekolah. Strategi pembelajarn ini sangat bermanfaat bagi guru, khususnya bagi siswa karena dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat siswa dapat meningkatkan prestasi siswa di sekolah, juga dapat meningkatkan dan memunculkan potensi yang ada di diri siswa yang mungkin selama ini tidak tampak. Siswa dan guru berperan aktif dalam proses pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran ini, sehingga hasil yang akan dicapai sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Ada beberapa strategi pembelajaran yang dibahas, yaitu:

  1. Pembelajaran konstruktivistik
  2. CTL (Contectual Teaching and Learning)
  3. Quantum Learning
  4. Quantum Teaching
  5. Multiple Inteligences
  6. Kecerdasan Emosional dalam pembelajaran


Pada masing-masing kasus diatas, telah dilakukan analisa dan penjelasan sesuai dengan teori yang ada didalam buku Paradigma Baru Pembelajaran, walaupun tidak semua teori atau penjelasan yang ada dibuku kami gunakan sebagai bahan analisa kasus.

1. Pembelajaran Konstruktivistik

Pada kasus yang terjadi di SMK negeri II probolinggo kurang cocok digunakan metode pembelajaran knstruksivistik. dimana masing-masing mereka belum memiliki kesadaran tentang betapa pentinggnya ilmu pengetahuanSebenarnya metode pembelajaran konstruksivistik baik dimana yang paling ditekankan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar tetapi juga ada pengarahan dan pengawasan dari guru. Dimana dalam proses belajar yang paling penting adalah keterlibatan siswa. Dimana siswa secara aktif dapat merespon materi yang dibahas, merekalah yang mengatur dirinya sendiri. Dengan adanya keinginan dia belajar itu akan lebih baik lagi daripada harus dipaksa guru untuk belajar, karena sesuatu yang dipaksakan akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal.

Menurut teori pembelajaran konstruktivistik itu adalah baik dan tepat tetapi ini tidak dapat diterapkan pada semua siswa. Dimana masih banyaknya siswa yang belum siap dalam mengikuti pembelajaran konstruktivistik, sebaiknya bila ingin menggunakan program pembelajar yang baru harus dilihat bagaimana siswa dan situasi yang ada di daerah tersebut.

2. CTL

CTL menjadi pilihan sebagai strategi belajar karena strategi ini merupakan strategi belajar "baru" yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafalkan fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui "mengalami", bukan "menghafal". Dalam kasus tersebut, guru (Yati Utami) memberikan pengajaran melalui strategi kontekstual (CTL). Yaitu dengan memberikan kebebasan pada para murid untuk menganalisis mengenai pohon mangga yang bisa berbuah paska gempa, dimana guru dan murid-murid belajar di alam terbuka yaitu di bawah pohon mangga tersebut. Kemudian guru menjelaskan mengenai proses fotosintesis yang terjadi pada pohon mangga tersebut sehingga pohon mangga yang sebelumnya tidak bisa berbuah menjadi bisa berbuah.

3. Quantum Teaching dan Quantum Learning

Berdasarkan kasus, subjek adalah seorang siswa yang pintar. Tetapi akibat dari manic depresive yang ia derita dan terus berulang membuat prestasi belajarnya turun. Menjadi siswa yang pemalasdan suka menyontek di kelas, kurangnya konsentrasi saat belajar dan rendahnya kepercayaandirinya membuat ia makin terpuruk dan sedih akan kondisinya tersebut. Masalah-masalah yang dihadapi oleh subjek dapat diatasi dengan metode Quantum Learning. Karena metode tersebut dapat memberikan sugesti yang positif pada siswa sehingga dapat membangkitkan kembali kepercayaan diri dan juga memunculkan keyakinandimiliki oleh siswa bahwa ia dapat belajar dan berprestasi seperti dulu lagi, dankemungkinan manic depresive yang dimiliki bisa berkurang sedikit demi sedikit walaupun mungkin membutuhkan waktu yang lama. Setidaknya, cara pandang dan cara pikir ia terhadap dirinya sendiri bisa berubah menjadi positif.

Kasus tersebut dapat dibahas dengan menggunakan Quantum Teaching, dengan menggunakan metode pengelolaan kelas yang nyaman dan juga bahan ajar yang dapat memunculkan kembali semangat subjek yang hilang dalam belajar agar dapat kembali berprestasi. Pada metode ini, gurulah yang lebih aktif dibandingkan siswa daripada metode Quantum Learning.

4. Multiple Inteligences

Berdasarkan kasus yang telah dibahas sebelumnya, pembelajaran multiple intelegensi memang sangat efektif, namun penggunaannya masih jarang dalam lingkup pendidikan, karena masih banyak guru yang menggunakan sistem pembelajaran yg berstandar akademis daripada memperhatikan minat dan bakat pada anak. Jika saja banyak sekolah yang lebih memperhatikan kecerdasaan-kecerdasaan majemuk pada siswa ketimbang harus mengikuti standarisasi pendidikan, mungkin pembelajaran lebih efektif dan lebih menarik bagi siswa karena siswa dapat di beri kesempatan untuk mengembangkan kecerdassaan majemuknya, sehingga masing-masing anak memiliki kecerdasaan yang menonjol pada bidang-bidang tertentu.

5. Kecerdasan emosional dalam pembelajaran

Berdasarkan kasus yang telah dibahas sebelumnya, tindakan guru untuk meningkatkam kecerdasan emosional sudah cukup baik, dimana siswa sudah menunjukkan hasil dari didikan guru mengenai hal-hal untuk meningkatkan kecerdasan emoional siswa. Usaha guru dalam meningkatkan kecerdasan emosional sudah diterapkan oleh siswa, seperti mengenali emosi diri , mengelola emosi, Memotivasi diri, Mengenal emosi orang lain dan Membina hubungan sosial. Hal tersebut diajarkan oleh guru setiap hari, sehingga siswa terbiasa dalam usaha-usaha meningkatkan kecerdasan emosional.

Testimoni Kelompok

Hanya dua kata yang dapat kami katakan..SANGAT MELELAHKAN...

Sangat melelahkan bukan karena tugas yang diberikan dosen, tetapi karena begitu banyak cobaan yang datang dalam proses pengerjaan tugas ini.

Berawal dari rencana kuliah online yang telah diumumkan satu minggu yang lalu. Tentu saja, kuliah dengan menggunakan metode seperti itu membutuhkan laptop sebagai media untuk bisa terhubung dengan teknologi internet. Kami sekelas, khusunya satu kelompok kami telah membawa laptop sesuai dengan rencana. Ternyata, tugas telah menanti kami di blok kami masing-masing. Dengan sibuk bercampur gerah karena panas, kami mulai mengerjakan tugas yang diperintahkan. Baru saja dimulai mengerjakan, tiba-tiba lampu mati dibarengi dengan matinya sinyal wifi yang tak seberapa itu. Untunglah, salah satu anggota dari kelompok kami membawa modem sendiri. Tapi memang dasar kalau namanya gak rezeki ya gak rezeki. Berbarengan dengan mati lampu tadi, baterai laptop pun lowbate dan akhirnya laptop pun mati.

ya Allah..Kenapa begitu banyak cobaan yang datang hanya untuk menyelesaikan tugas ini.??

But, no problem... warnet banyak di sekitar kampus. Kami menyurui dari satu warnet ke warnet yang lain. Sampai warnet ke tiga yang kami datangi, kami memulai tugas kami yang belum sempat terselesaikan.

Kesulitan kami hadapi pada saat mencari kasus yang sesuai. Tetapi kesulitan yang lebih besar pada saat membahas kasus. Tetapi akhirnya semua nya dapat kami lalui walaupun mungkin pembahasan yang kami lakukan tidak sempurna.

Semoga, pembahasan kasus yang kami buat dapat bermanfaat sebagai wacana untuk memperluas informasi dalam bidang pendidikan. Amin...

Daftar Pustaka

Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Kencana. Jakarta

http://www.smkn1samarinda.com/html/index.php?id=artikel&kode=58

http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/983

http://masthoni.wordpress.com/2009/08/21/fg/

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=146689&actmenu=35

http://syambudiarti.blogspot.com/2010/01/analisis-artikel-quantum-learning.html

Kelompok 2

Meinisa Risky Amelia (051301014)

http://05014-meinisa.blogspot.com/

Ika Corry H. S (051301021)

http://05021ikacorry.blogspot.com/

Isha Mariyani (051301137)

http://051301137ishamariyani.blogspot.com/

Masitha (06130023)

http://06023msta.blogspot.com/

Ira Arindhini Sitepu (081301015)

http://08015iad-arindhiini.blogspot.com/