Layla Majnun bukan sebuah buku biasa. Tadi sore tanpa sengaja aku memilihnya, lalu membelinya, dan membawanya ke ruang baca. Tak terpikirkan olehku bahwa aku akan membaca novel yang judulnya sudah lama kutahu itu, dan bagiku tampak klise. Aku menyadari bahwa sangkaanku salah: buku ini—jika kau pernah membacanya, sebaiknya kau tak beranjak sedikit pun sampai kau benar-benar mengkhatamkannya.
Terpujilah untuk penerjemah dan penyunting buku ini, yang berhasil menyuguhkan suatu bacaan yang sangat hidup dan “sempurna” ke sidang pembacanya.
Kalian berdua adalah pasangan serasi, ibarat Majnun dan Layla. Terpujilah untuk penerbit buku ini, yang mau menerbitkan buku yang akan memperkaya khazanah kata. Terpujilah Nizami sang pengarang, seorang pujangga Persia abad ke-12, yang mau menggubah kisah ini dengan kecemerlangan yang sulit ditandingi. Dan tentu saja, tak akan pernah lupa, terpujilah untuk Dia yang menciptakan Layla dan Majnun ke dunia ini, yang untuk cinta-Nya Nizami dan para pengarang-sufi lainnya berkarya.
Perlukah bagiku untuk menceritakan kembali isi buku yang tak biasa ini? Jika kau membaca sendiri buku ini, kau akan mengerti kenapa kata-kata seperti harus meluap-luap untuk menggambarkan nuansanya.
Aku yang baru membacanya sekali, seperti ingin berteriak kegirangan dan menari sejenak walau cuma dalam imajinasi.
Sejatinya Layla Majnun adalah kisah “tragis” tentang cinta yang tak sampai antara dua orang manusia. Seseorang bernama Qays, dan seseorang lagi bernama Layla. Mereka bertemu, saling jatuh cinta, namun hubungan mereka tak direstui. Mereka kemudian berpisah secara menyakitkan, ketika cinta mereka sedang di puncak baranya. Qays begitu tergila-gila pada Layla hingga menyebutnya sepanjang waktu, menyanyikan sajak-sajak cinta di mana pun ia berada-hingga orang mencapnya “Majnun” alias sinting.
Ia menelantarkan studinya karena cintanya pada Layla, ia merendahkan harga dirinya karena cinta, dan menggelandang kesana kemari hanya untuk mengungkapkan cintanya kepada Layla.
Padahal Qays adalah anak bangsawan kaya. Dan ayahnya, tahu dan sedih dengan kondisi Qays, berminat melamar Layla, namun lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh ayah Layla. Qays semakin majnun, semakin tenggelam dia dalam kegilaannya, dan orang-orang terus mencemooh dan mencacinya karena ketidakwarasan itu, hingga kemudian ada seorang kesatria Arab bernama Naufal membantu ingin merebut Layla dari sukunya dan mempertemukan Layla dengan Qays
Terjadi perang besar, suku Layla kalah, namun ayah Layla tak mau menyerahkan Layla kepada Naufal. Qays tetap merana dalam kesendiriannya. Ia berkelana ke gurun-gurun pasir tanpa kejelasan nasib, pikirannya terlalap api cinta, dan tubuhnya semakin menderita, kurus ceking dan tinggal tulang belulang. Sementara, Layla diincar oleh seorang pemuda Arab bernama Ibnu Salam yang datang melamar ke keluarga Layla dan diterima. Layla pun dinikahkan dengan Ibnu Salam, walaupun lelaki itu tak pernah dicintainya. Dan benar, selama bersama dengan Ibnu Salam, kesucian Layla tetap terjaga; lelaki itu, meski jadi suaminya, tak pernah bisa menyentuhnya.
Selama masa-masa perpisahan itu, Qays si Majnun hidup di hutan, berkawan dengan rimba, dengan binatang-binatang, dan kehilangan akal kemanusiaannya. Terasing dari keluarganya, dari sukunya, dan bahkan dari manusia, dia memilih hidup untuk merawat cinta, sendiri di ganasnya hutan belantara. Sementara Layla berhari-hari memendam rindunya pada Qays, Qays membalas rindunya pada Layla dengan sajak-sajak cinta yang dititipkannya pada alam raya. Hingga keduanya mati, mereka hanya bertemu sekali di ujung perpisahan panjang itu. Layla mati, dan Qays pun menyusul kekasihnya ke gerbang kematian. Demikianlah, seseorang kemudian bermimpi melihat keduanya bercengkerama bersama dan saling bermesra ria di surga…
Tak ada yang pernah dapat menceritakan kembali keanggunan Layla Majnun hanya dalam satu-dua halaman, kecuali kau menjelma Nizami, dan kalaupun ada yang mau meringkasnya, jangan pernah percaya sebelum kau membacanya dengan mata kepala. Layla Majnun bagiku bukan untuk diceritakan ulang; karya ini untuk dibaca dan dihayati, terutama jika kau pernah mencecap apa yang disebut “cinta”.
Layla Majnun bukan kisah cinta biasa. Cinta antara jantan dan betina, antara dua jiwa yang sekadar ingin bersama. Ia bukan cinta yang sering kali berselubung nafsu dan berahi. Jika saja kau benar-benar merasakannya, mencecapnya hingga kata-kata terakhir di dalamnya, kau akan tahu betapa karya ini sebenarnya berbicara tentang cinta yang lebih hakiki, cinta seorang hamba pada Tuhannya.
Majnun adalah tipikal seorang hamba yang diperbudak oleh cintanya. Sedangkan Layla adalah tipikal seorang kekasih yang mendamba untuk dicintai. Majnun adalah seorang pencari cinta, sedangkan Layla adalah penunggu cinta. Majnun adalah budak cinta yang menghamba untuk diizinkan mencintai, sedangkan Layla adalah majikan yang tak sabar untuk segera dicintai. Bukankah semua ini cukup menggambarkan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya?
Tuhan, seperti pernah dikatakannya dalam sebuah hadis Qudsi, adalah Khazanah Tersembunyi. Ia ingin dikenal, maka ia ciptakan semesta dan seisinya. Ia mencipta bukan karena Ia butuh kepada ciptaannya, tapi agar Ia kelak dikenal dan dirindu—serta dicumbu—oleh ciptaannya.
Layla Majnun memberi kita ruang untuk menafsiri cinta sesuka hati kita, seturut nurani pembacanya. Namun, pembaca yang satu ini lebih memilih menafsiri dengan kegilaan yang sudah lama tak dirasakannya—kegilaan yang dulu membuatnya begitu gandrung pada al-Hallaj dan sufi-sufi sinting lainnya. Dalam kegilaannya, yang hanya sepersekian persen dari kegilaan Majnun, pembaca yang satu ini menuliskan satu pasase di halaman pertama buku yang baru dibelinya: sebuah tanda tangan dan sebuah doa “Semoga Allah selalu merahmati Nizami dengan keluhuran karyanya…”.
(*Persembahan untuk edisi Layla Majnun [yang sementara ini tampaknya merupakan edisi terbaik dalam bahasa Indonesia] karya Nizami, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ali Noer Zaman dan disunting oleh Salahuddien Gz, Kayla Pustaka, Jakarta, cet. I Februari 2009… dan juga persembahan untuk Layla-ku, “masihkah kau selalu jadi Layla bagi Majnun-mu?”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar